Masihkah kau ingat, pada sebuah senja
kita menunggu matahari
di pantai itu, hilang di garis laut
sedang kaki telanjang kita dicium lidah ombak
katamu “jangan kau lukai pasir itu dengan abjad namaku.”
Lalu kita hanya mengeja kata-kata cinta, bersama
namamu dan namaku dilayahkan angin
kita lihat di ufuk barat, aksara-aksara terbang
garis langit dan laut semakin kelam
dan waktu yang terheret pun berpesan
“usah percaya pada angin,
yang terkadang sesat di penjuru malam. ”
Jalan Pengkalan Chepa
Jun 30, 2009 (petang: 4:39)
kita menunggu matahari
di pantai itu, hilang di garis laut
sedang kaki telanjang kita dicium lidah ombak
katamu “jangan kau lukai pasir itu dengan abjad namaku.”
Lalu kita hanya mengeja kata-kata cinta, bersama
namamu dan namaku dilayahkan angin
kita lihat di ufuk barat, aksara-aksara terbang
garis langit dan laut semakin kelam
dan waktu yang terheret pun berpesan
“usah percaya pada angin,
yang terkadang sesat di penjuru malam. ”
Jalan Pengkalan Chepa
Jun 30, 2009 (petang: 4:39)
.
2 comments:
Salam RAA,
"selalu indah puisi yang ditemui di laman ini",
"dua baris terakhir setiap rangkap puisimu ini amat terkesan" ...
Zek,
Terkadang kita jadi terlalu berharap pada angin, tatkala awan menyeliputi langit. Rindu pada laut yang tak jelas di pandangan.
Namun sering pula kita kecewa pada angin, yang terkadang bertukar langkisau pada kelam malam, dan merobohkan pondok yang kita bina di bibir pantai.
Post a Comment